Jakarta, allgulfnews.com — Suriah kembali menjadi sorotan setelah kelompok pemberontak yang juga dianggap sebagai kelompok teroris, Hayat Tahrir Al Sham (HTS), menyerang sejumlah wilayah di negara tersebut pada akhir pekan lalu. HTS yang selama ini menguasai Provinsi Idlib kini memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Provinsi Hama dan berencana untuk menguasai Aleppo.
Pemerintah Suriah yang dipimpin oleh Bashar Al Assad segera merespons dengan mengerahkan pasukan untuk menghadang serangan tersebut. Mereka juga mendapatkan dukungan militer dari Rusia. Pertempuran sengit pun terjadi, yang mengakibatkan setidaknya tujuh orang tewas.
Mengapa HTS Menyerang Suriah?
Para pengamat menilai bahwa HTS selama ini memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Bashar Al Assad dan menggantinya dengan pemerintahan yang menerapkan prinsip Islam. Media AS, seperti Washington Post, juga mencatat bahwa bagi HTS, tujuannya adalah untuk mendirikan pemerintahan Islam di Suriah.
Dalam rilis resmi mereka beberapa hari terakhir, HTS berjanji untuk melindungi situs-situs budaya dan agama di Aleppo, termasuk gereja-gereja yang ada di kota tersebut. Hal ini menunjukkan upaya mereka untuk memperoleh dukungan dari berbagai kalangan, sekaligus menunjukkan niat mereka untuk menguasai wilayah-wilayah penting.
Ketegangan antara kelompok pemberontak dan pemerintah Suriah sudah mulai meningkat sejak Oktober lalu, ketika HTS kembali bertempur dengan pasukan pemerintah yang dibantu oleh militer Rusia. Serangan terbaru ini kemungkinan dipicu oleh situasi geopolitik yang sedang berubah.
Faktor Geopolitik dan Peluang Lokal
HTS tampaknya merasa lebih percaya diri untuk melancarkan serangan karena milisi-milisi dari Hizbullah yang sebelumnya mendukung pemerintah Suriah kini lebih fokus pada ancaman dari Israel di Lebanon. Hal ini menyebabkan pasukan Hizbullah dialihkan dari Suriah ke Lebanon, membuka celah bagi HTS untuk kembali aktif.
Selama beberapa tahun terakhir, HTS juga melakukan regenerasi pasukan dan memperbarui persenjataan mereka. Peneliti senior keamanan Timur Tengah di International Institute for Strategic Studies, Emile Hokayem, menyatakan bahwa serangan ini adalah hasil dari persiapan matang HTS. “Kelompok pemberontak telah mempersiapkan pasukan, memperbarui senjata, dan melakukan pelatihan ulang untuk menghadapi situasi seperti ini,” katanya. Hokayem menambahkan bahwa langkah HTS ini juga berkaitan dengan melemahnya dukungan kepada pemerintah Assad dari pihak-pihak seperti Hizbullah dan Iran.
Keterlibatan Israel dalam Geopolitik Suriah
Di sisi lain, situasi geopolitik yang lebih luas juga turut mempengaruhi ketegangan di Suriah. Dalam beberapa bulan terakhir, Israel terlibat dalam serangan-serangan terhadap Iran, yang semakin meningkatkan ketegangan di wilayah Timur Tengah. Israel mengklaim telah berhasil menghancurkan sistem pertahanan udara Iran dalam serangan-serangan udara di wilayah Iran pada Oktober lalu. Sementara itu, pasukan Zionis juga terlibat dalam pertempuran dengan Hizbullah, yang mengalihkan perhatian dari Suriah.
Sejarah Pemberontakan di Suriah
Untuk memahami lebih dalam, pemberontakan kelompok-kelompok anti-Assad di Suriah sebenarnya sudah dimulai sejak 2011. Pada waktu itu, gelombang protes menentang rezim Assad menyebar ke berbagai penjuru negara. Pemerintah Suriah menanggapi dengan kekerasan, melakukan penangkapan masal dan menembaki permukiman warga sipil.
Situasi ini memicu sebagian warga untuk membentuk kelompok-kelompok bersenjata sebagai bentuk perlawanan. Sejumlah milisi, termasuk mereka yang sebelumnya memerangi pasukan AS di Irak, kemudian muncul kembali. Selama bertahun-tahun, sisa-sisa oposisi ini berkumpul di Provinsi Idlib dan wilayah-wilayah lain di Suriah utara dan tengah, termasuk di sepanjang perbatasan Turki. Mereka terus mengembangkan strategi untuk menggulingkan pemerintahan Assad, meski menghadapi banyak rintangan.
Kesimpulan
Serangan HTS yang terjadi baru-baru ini adalah bagian dari upaya mereka untuk melanjutkan tujuan politik dan agama mereka, yaitu mendirikan pemerintahan Islam di Suriah. Di balik serangan ini, terdapat faktor-faktor geopolitik yang lebih besar, seperti situasi di Lebanon, peran Hizbullah, dan ketegangan antara Israel dan Iran, yang memberikan kesempatan bagi HTS untuk menghidupkan kembali perjuangan mereka. Situasi ini juga mengingatkan kita pada sejarah panjang pemberontakan di Suriah yang dimulai sejak 2011, yang hingga kini belum menemukan jalan keluar yang pasti.